Pacitan jaman Pra
Sejarah
Berbagai temuan
arkeologi menunjukkan bahwa ternyata Pacitan sudah dihuni pada masa-masa pra
sejarah. Benda-benda yang ditemukan tersebut diduga merupakan alat-alat kerja
tingkat sederhana jaman Prasejarah yang digunakan pada masa berburu dan
mengumpulkan makan. Dikenalnya Pacitan sebagai situs arkeologi dimulai sekitar
tahun 1935 saat Gustav Heinrich Ralph von Keningswald, seorang paleontology dan
geology dari jerman serta M.W.F. Tweedie menemukan situs Kali Bak Sooka di
Kecamatan Punung. Situs ini merupakan Bengkel Manusia Purba Terbesar dari
kebudayaan Paleolitik atau lebih dikenal sebagai budaya Pacitanian. Selanjutnya
ditemukan kurang lebih 261 lokasi situs prasejarah dengan 3000 temuan artefak.
Temuan artefak di
pacitan ada berbagai macam diantaranya Kapak Perimbas yang mempunyai multi
fungsi, selain alat untuk mencari ubi juga untuk berburu. Dalam kegiatan
berburu, terutama mulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
lanjut manusia juga menciptakan ujung anak panah dari batu. Temuan-temuan
lainnya diantaranya adalah Kapak Genggam, Kapak penetak, mata anak panah,
serut, alat-alat dari tulang, dsb. Pernah ditemukan juga manik-manik sebagai
sarana yang dipakai sebagai perhiasan dan juga biasanya dipakai sebagai bekal
kubur. Manik-manik semacam ini mulai ada sejak masa bercocok tanam yang pada
saat itu juga berkembang kebudayaan Megalithicum/batu-batu seperti dolmen,
kubur batu, dan sebagainya.
Tidak hanya peralatan
tetapi juga pernah ditemukan fosil manusia purba dari ras Austrialid yang hidup
sekitar 12.000 tahun sebelum masehi. Ketika ditemukan, kerangka manusia purba
berjenis kelamin perempuan itu dalam posisi terlipat menghadap dinding goa dan
disangga beberapa batu. Ditangannya memegang peralatan dari batu. Satu lagi
kerangka juga ditemukan tetapi rasnya berbeda, yaitu dari ras Mongoloid.
Situs-situs ditemukannya
artefak-artefak tersebut diantaranya adalah situs Kali Bak Sooka, Song Keplek,
Song Terus, situs Sungai Banjar, Sungai Karasan, Sungai Jatigunung (Tulakan),
Kedung Gamping, Mantren, dsb.
Pacitan Jaman Ki Ageng
Buwana Keling
Sejarah Pacitan umumnya
ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana Keling, salah satu utusan Raja
Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke
XII M. Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra
Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama
putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling
mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah
kekuasaan Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km
dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah
wengker kidul atau daerah pesisir selatan. KI Ageng Buwana Keling berputra
tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana
Keling.
Keberadaan Ki Ageng
Buwana Keling ini dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada
abad XV yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di
daerah wengker kidul.
PRASASTI JAWA KUNO
JA PURA PURAKSARA
ERESTHA
BHUWANA KELING ABHIYANA
JUWANA SIDDHIM
SAMAGANAYA
BHIJNA TABHA MINIGVAZAH
RATNA KARA PRAMANANTU
Artinya : dahulu ada
seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai
kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang
bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah
sekitarnya.
Versi lain menyatakan
bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung,
salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Ceritanya dimulai pada saat
menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V
yang menikah dengan puteri dari China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa
Jawa yang menikahi puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal.
Prabu Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang
untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang
dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul
Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu, selanjutnya ke Gunung Limo.
Di saat itulah Agama
Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, karena tidak
ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono
Keling dan Ki Tiyoso (mereka berempat bukan saudara kandung melainkan saudara satu
perguruan) melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya,
“Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah
kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang
dinamakan “Alas Wengker Kidul”. Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka
dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso
lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.
Saat kemudain Majapahit
benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung turun gunung,
ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Kemudian Ki tunggul
Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya dengan meminta
petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan
nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.
Setelah peristiwa
tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat
yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat
(kelak terkenal dengan sebutan Gunung Limo, tetapi tidak terlihat sebagai lima
gunung bila dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat bila
saudaranya berada di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung
tersebut ia tidak bertemu saudaranya.
Dikisahkan bahwa
akhirnya Kyai Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng
gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan
tempat untuk bertapa atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus
melewati banyak rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus
menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.
Selo Matangkep adalah
sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang
saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung
yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang
berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati ia berbadan besar maupun
kecil akan bisa melewatinya.
Berakhirnya Masa Ki
Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan
Kegoncangan masyarakat
Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan
terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di
pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg /Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R.
Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang
meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk
mengikuti atau memeluk ajaran Islam.
Namun setelah KI Ageng
Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu
agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara
kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki
Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng
Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup
lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun
akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut
peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya
setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama
Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). Dalam legenda sering disebutkan bahwa
Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak
bisa mati messki dibunuh berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni
“Pancasona”. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh
kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga
lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.
Berdirinya Pondok
Pesantren Tremas
Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian dimakamkan di daerah Pacitan.
Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian dimakamkan di daerah Pacitan.
Selanjutnya dari tahun
ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama
Islam di Pacitan semakin maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra
dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso (kelak berganti nama menjadi KH.
Abdul Manan) kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam
di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari.
Sekembalinya beliau dari
pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai
mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). Setelah
kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, Arjosari yang
kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tremas sekarang ini.
Asal mula Nama pacitan
Terdapat minimal dua
versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan berasal dari kata
“Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran Mangkubumi saat menyingkir ke
daerah Wengker Kidul karena terdesak musuh. Saat itu sedang terjadi perang
gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda,
Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya
mundur keselatan sambil mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25
Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo
beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen
buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali.
Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian
sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan
(Drs. Ronggosaputro;1980)
Setelah Pangeran
Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya
yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan
ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden
Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi
pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi
ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat
demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung
Notoprojo.
Versi yang lain mengatakan
bahwa Pacitan berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan,
snack yang tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan
saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak
mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat tersebut.
Ada fakta yang menarik
bahwa nama Pacitan ternyata telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya
Pangeran Mangkubumi. Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang
dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Nama-nama Pejabat Bupati
Pacitan
1745-1750 :
R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM
Letak geografis..
Kabupaten Pacitan
terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Propinsi Jawa
Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pintu gerbang bagian barat dari
Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur selatan yang membujur dari
gunung kidul ke Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera Indonesia.
Kabupaten Pacitan
mempunyai luas wilayah 1.389,87 Km2 atau 138.987,16 Ha yang kondisi alamnya
sebagian besar terdiri dari bukit-bukit yang mengelilingi kabupaten. Sedangkan
wilayah kota Pacitan yang merupakan inti atau pusat pemerintahan berupa dataran
rendah. Selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat
sampai timur di bagian selatan.
Pacitan adalah kecamatan
yang menjadi ibukota Kabupaten Pacitan, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota
Pacitan adalah denyut nadi pemerintahan dan perekonomian kabupaten pacitan
secara keseluruhan. Lansekap kota Pacitan terletak di lembah, di tepi Teluk
Pacitan dan dialiri sungai Grindulu yang membentang dari wilayah selatan menuju
pantai Teleng Ria.
Kabupaten Pacitan
merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang terletak di
bagian Selatan barat daya. Kabupaten Pacitan terletak di antara 1100 55′ – 1110
25′ Bujur timur dan 70 55′ – 80 17′ Lintang Selatan.
Dari aspek topografi
menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut:
0-2 % meliputi ± 4,36
dari luas wilayah merupakan tepi pantai.
2-15 % meliputi ± 6,60 % dari luas wilayah baik untuk pertanian dan memperhatikan usaha pengawetan tanah dan air.
15-40 % meliputi ± 25,87 dari luas wilayah sebaiknya untuk usaha tanaman tahunan.
40 % keatas meliputi ± 63,17 % dari luas wilayah merupakan daerah yang harus difungsikan sebagai daerah penyangga tanah dan air serta menjaga keseimbangan ekosistem di Kabupaten Pacitan.
2-15 % meliputi ± 6,60 % dari luas wilayah baik untuk pertanian dan memperhatikan usaha pengawetan tanah dan air.
15-40 % meliputi ± 25,87 dari luas wilayah sebaiknya untuk usaha tanaman tahunan.
40 % keatas meliputi ± 63,17 % dari luas wilayah merupakan daerah yang harus difungsikan sebagai daerah penyangga tanah dan air serta menjaga keseimbangan ekosistem di Kabupaten Pacitan.
Batas-batas Administrasi
:
- sebelah Timur :
Kabupaten Trenggalek
- sebelah Selatan :
Samudera Indonesia
- sebelah Barat :
Kabupaten Wonogiri ( Jawa Tengah )
- sebelah Utara :
Kabupaten Ponorogo
Bila ditinjau dari
struktur dan jenis tanah terdiri dari Assosiasi Litosol Mediteran Merah,
Aluvial kelabu endapan liat, Litosol campuran Tuf dengan Vulkan serta komplek
Litosol Kemerahan yang ternyata di dalamnya banyak mengandung potensi bahan
galian mineral. Pacitan disamping merupakan daerah pegunungan yang terletak
pada ujung timur Pegunungan Seribu, juga berada pada bagian selatan Pulau Jawa
dengan rentangan sekitar 80 km dan lebar 25 km. Tanah Pegunungan Seribu
memiliki ciri khas yang tanahnya didominasi oleh endapan gamping bercampur
koral dari kala Milosen (dimulai sekitar 21.000.000 – 10.000.000 tahun silam).
Endapan itu kemudian mengalami pengangkatan pada kala Holosen, yaitu lapisan
geologi yang paling muda dan paling singkat (sekitar 500.000 tahun silam –
sekarang). Gejala-gejala kehidupan manusia muncul di permukaan bumi pada kala
Plestosen, yaitu sekitar 1.000.000 tahun Sebelum Masehi.
Endapan-endapan itu
kemudian tererosi oleh sungai maupun perembesan – perembesan air hingga
membentuk suatu pemandangan KARST yang meliputi ribuan bukit kecil. Ciri-ciri
pegunungan karst ialah berupa bukit-bukit berbentuk kerucut atau setengah
bulatan.
Bersamaan dengan kala
geologis tersebut, yakni pada zaman kwarter awal telah muncul di muka bumi ini
jenis manusia pertama : Homo Sapiens, yang karena kelebihannya dalam
menggunakan otak atau akal, secara berangsur-angsur kemudian menguasai alam
sebagaimana tampak dari tahap-tahap perkembangan sosial dan kebudayaan yaitu
dari hidup mengembara (nomaden) sebagai pengumpul makanan, menjadi setengah pengembara/menetap
dengan kehidupan berburu, kemudian menetap dengan kehidupan penghasil makanan.
Adapun tingkat kebudayaannya yaitu dari zaman batu tua (Palaeolithicum), zaman
batu madia (Messolithicum), dan zaman batu muda (Neolithicum).
Obyek Pariwisata Kota
Pacitan
Gua Gong
Goa Gong. Merupakan Goa
yang mendapat predikat Goa terindah se – Asia Tenggara. Terletak di desa Bomo,
Kecamatan Punung ini menawarkan sejuta pesona keindahan stalaktit dan
stalakmitnya. Kalau mau melihat salah satu lokasi keajaiban bawah tanah,
selayaknya kita melawat ke daerah Pacitan. Sebab di antara bukit-bukit
gersangnya, ternyata tersimpan gua-gua eksotisme bawah tanah batuan gamping.
Yang hanya akan meninggalkan jejak keindahan bagi mata yang pernah
memandangnya. Deretan bukit batuan gamping menghiasi sepanjang kiri-kanan
jalan. Jalan yang berkelok indah di sisi pinggir bukit membuat lintasan paralel
menyusur di antara kehijauan pohon jati. Angin segar menerpa, di atas aspal
baru. Mengantarkan kaki menuju parkiran wisata gua Gong, di Kabupaten Punung,
Pacitan Jawa Timur.
Di sepanjang perjalanan
menuju mulut gua, deretan kios pedagang makanan masih tertutup rapat. Mungkin
karena saya datang bukan saat akhir minggu, jadi deretan kios ini terlihat
menutup diri saja. Lagipula, memang tak banyak pengunjung yang datang saat itu.
Hanya terlihat sekelompok pria dewasa, yang sepertinya hanya ingin melewati
rasa penasarannya saja untuk melihat isi perut bumi di daerah desa Bomo ini.
Memasuki lorong pertama
di gua ini, sudah terasa keindahan mulai memijar. Deretan straw (ornamen berbentuk
seperti sedotan) berebut memenuhi langit-langit gua. Sebuah ungkapan selamat
datang yang mahaindah bagi yang mengerti. Karena deretan straw tersebut bisa
berarti sinyal pemberitahuan, mengenai lebatnya ornamen lain di dalamnya.
Benar saja, setelah melewati
lorong straw, langsung mata ini disergap oleh puluhan bahkan ratusan ornamen
gua yang berbeda tiap bentuknya. Teramat banyak saya kira, lebih banyak dari
sekumpulan ornamen gua yang pernah saya lihat di gua-gua lainnya di tanah Jawa
ini. Semua penuh memadati lorong menurun gua, menghiasi tiap meter sisi tangga.
Menjadi hiasan yang tak terukur nilainya, karena tiap ornamen bisa jadi berumur
ratusan tahun lamanya.
Saking banyaknya ornamen
yang ada di dalam gua tersebut, sampai sulit rasanya menyebutkan satu per satu
di sini. Yang paling saya ingat mungkin sekumpulan gourdyn raksasa, yang
dipenuhi bintik mutiara di dalamnya. Titik-titik kecil tersebut seperti ribuan
kunang-kunang saja layaknya. Suasana gua yang temaram makin menambah eksotis
ribuan titik mutiara itu. Memenuhi tiap jengkal mata memandang, dan bila
memejamkan mata, rasanya masih tertinggal ribuan titik mutiara tersebut
memenuhi benak kepala.
Perjalanan masih terus
memasuki lorong-lorong. Menembus di antara stalagmit dan stalagtit. Membentuk tiang-tiang
tinggi penyangga lorong, mengukuhkan keberadaan mereka di sana.
Diselang-selingi dengan tirai tipis batuan, menimbulkan kekaguman saat mencoba
mengetuknya. Terdengar suara berdengung, yang menggema di seantero lorong.
Rupanya inilah sebab mengapa gua ini disebut Gong. Karena tiap kita memukul
bagian ornamen di dalamnya, akan terdengar suara berdegung, mirip suara yang
dihasilkan gong gamelan kesenian khas Jawa.
Hingga akhirnya saya
keluar dari lorong-lorong berhawa panas tersebut, masih terasa sentuhan pada
mata dan kuping ini. Menembus liang pemikiran dan berbayang terus, bahkan
sampai es degan (kelapa) melewati kerongkongan. Baru tersadar bahwa keindahan
gua tersebut benar-benar sebuah anugerah dari kuasa, yang diberikan untuk
mempercantik kawasan keras gamping tersebut.
Nasi Tiwul
Sambel trasi dengan
lalapan daun kemangi, kemudian dicampur dengan lauk lele goreng, dengan satu
porsi nasi tiwul. Nasi yang sudah jarang sekali dinikmati oleh masyarakat
Pacitan ini adalah merupakan maskan khas daerah pacitan sejak dulu. Nasi Tiwul
adalah hasil olahan dari tepung ubi kayu (cassava) melalui proses tradisional,
yaitu tepung cassava ditambahkan air hingga basah dan dibentuk butiran-butiran
yang seragam dengan ukuran sebesar biji kacang hijau dan dikukus selama 20-30
menit.
Tiwul adalah makanan
pokok sebagai pengganti beras yang berasal dari singkong. Disaat musim kemarau,
berbondong-bondong petani menanam singkong, hal ini dikarenakan tanah mereka
sulit untuk mendapatkan air disaat musim tersebut. Daripada tanah dibiarkan
kosong mlompong, lebih bermanfaat ketika mereka menanaminya dengan ketela.
Setelah ketela dipanen, umur sekitar 60 sampai 90 hari, kulit ketela dikupas.
setelah itu dikeringkan. Jadilah gaplek yang bisa disimpan sampai berbulan
bulan. Para petani tidak akan khawatir jika kemarau panjang melanda selama
mereka masih meyimpan gaplek dirumahnya. dari gaplek itulah dijadikan tiwul.
Memang kandungan kalori tiwul masih tidak bisa menandingi beras, namun cukup
memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Konon nasi tiwul bisa mencegah
penyakit maag, perut keroncongan dan lain sbg-nya. Cita rasa gaplek sangat khas
dan unik.
Pemandian Air Panas
Tirta Husada
Alami, Indah, Mempesona.
Itulah kata – kata yang dapat mengungkapkan keindahan pesona wisata di
Kabupaten Pacitan, terutama keindahan wisata alamnya. Dari ujung perbatasan di
Ponorogo, kita akan mulai melihat keindahan pemandangan alam itu dari sungai
Grindulu yang membentang dari Kecamatan Tegalombo sampai ke pacitan. Kemudian
berlanjut ke Kecamatan Arjosari, kita akan melihat dan merasakan dahsyatnya
Pemandian air panas yang mampu menyembuhkan penyakit kulit ini. Pemandian Air
Panas Tirta Husada ini merupakan salah satu objek wisata alam sekaligus
berfungsi untuk terapi penyembuhan berbagai penyakit kulit. Objek wisata ini
terletak di Kecamatan Arjosari, di dekat Pondok Pesantren Tremas.
Pantai Teleng Ria
Pacitan
Kemudian berlanjut dan
bertutut – turut, kita akan melihat pemandangan luar biaa dari Pantai – Pantai
yang ada di Pacitan. Mulai dari Pantai Teleng Ria Pacitan, yang merupakan
Pantai sekaligus pusat perekonomian warga sekitar Teleng Ria yang
memanfaatkannya untuk menggali Potensi Lautnya. Selain itu Pantai Teleng Ria
juga dijadikan tempat untuk arena olahraga (Surfing, Balap Motor)
Pantai Srau
Kemudian adalah Pantai
Srau, yang berada di Desa Srau Kec.Pringkuku Kab.Pacitan. Perjalanan ke pantai
ini ditempuh sekitar satu jam melalui sebuah jalan yang berliku masuk ke hutan
jati dan rumah pedesaan. Pantai ini terkenal dengan keindahan Batu Karangnya
yang mempesona.
Pantai Watu Karung
Pantai selanjutnya
adalah Pantai Watu Karung. Pantai yang terletak di desa Watukarung, Kecamatan
Pringkuku ini adalah pusatnya para nelayan mencari ikan. Nelayan – nelayan
dengan perahu tradisional banyak ditemui disini. Begitu air surut, kita bisa
berjalan ketengah lautan sampai pinggir palung lho. kira-kira 50 meter-an dari
garis pantai normal, namun kita juga perlu waspada adanya tidal wave (atau
ombak kejut) lewat. Masih banyak pantai – pantai yang lain, seperti Pantai
Klayar yang menawarkan keindahan batu karangnya,Pantai Buyutan, Kali Uluh, dan
sederet nama – nama objek wisata lainnya yang mempesona. Selamat datang di
Pacitan, Kota Pariwisata.
Monumen Jenderal
Sudirman. Terletak di desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan ini adalah wisata
sejarah sebagai simbol perang Gerilya oleh Jenderal Sudirman. Monumen ini pada
Tahun 2009 telah diresmikan oleh Presiden SBY.
Sungai Grindulu. Sungai
terpanjang di Kabupaten pacitan yang berasal dari Gunung Wilis ini adalah
sungai yang membentang dari Desa Gemaharjo, Desa Krajan, Desa Ngreco, desa
Gedangan, Desa Kebondalem (Kecamatan Tegalombo), Desa Mangunharjo di Arjosari,
dan beberapa Desa di Kecamatan Pacitan.
Kerajinan Batu Akik
Kerajinan Batu Akik.
Batu akik dibuat dari bahan baku seperti Jasper, Fosil Kayu, Kalsedon, dan
Pasir Kwarsa, yang banyak dijumpai di sekitar sentra industri kecil batu akik
di beberapa desa Kecamatan Donorojo
link;http://taandika.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-pacitan_13.html